Senin, 17 Oktober 2011

ISD (Ilmu Sosial Dasar)

KEKERABATAN


Istilah kekerabatan (kinship) mengandung pengertian sebuah jaringan hubungan kompleks berdasarkan hubungan darah atau perkawinan. Berdasarkan hubungan darah dapat diambil pengertian bahwa seseorang dinyatakan sebagai kerabat bila memiliki pertalian atau ikatan darah dengan seseorang lainnya. Contoh kongkrit dari hubungan berdasarkan pertalian darah adalah kakak-adik sekandung. Selain dari hubungan darah, kekerabatan juga terbentuk karena perkawinan, yakni seseorang menjadi kerabat bagi yang lain atas ikatan perkawinan yang dilakukan oleh saudaranya. Contoh kongkrit dari hubungan atas perkawinan misalnya kakak atau adik ipar, bibi yang dinikahi oleh adik ibu.
Pada prinsipnya proses pengelompokkan manusia yang paling awal dan paling sederhana adalah kekerabatan. Pengelompokan manusia dalam unit terkecil atau keluarga merupakan manifestasi hubungan kekerabatan. Perkembangan jumlah manusia yang semakin besar membuat hubungan kekerabatan meluas hingga pada tahap antar kerabat tidak dapat mengidentifikasi kerabat-kerabat jauh mereka.
Hubungan kita dengan kerabat tampak jelas pada suatu kesempatan istimewa, seperti pada hari lebaran, hari natal, atau hari ulang tahun. Kerabat juga akan tampak dalam hubungan yang abstrak dan menampakkan fisik dirinya dalam kesempatan-kesempatan istimewa tersebut, termasuk pada berbagai peristiwa penting di dalam kehidupan kita – perrnikahan atau pemakaman.
Kekerabatan dapat berfungsi sebagai jaringan atau kelompok kerja. Mobilisasi kekerabatan dinyatakan untuk mendapatkan dukungan atau bantuan tatkala menyelenggarakan suatu acara selamatan atau upacara duka misalnya. Hampir pada semua masyarakat, mobilisasi tersebut dihimpun dari jaringan kekerabatan dan kerabat perkawinan. Bilamana para kerabat atau beberapa orang dari lingkungan dekat terhimpun di sekitar seseorang, secara konseptual dikenal sebagai kategori budaya yang khas, di sebut sanak saudara atau handai taulan.

1.         SISTEM KETURUNAN
Kekerabatan yang didasarkan pada pertalian darah dan sistem perkawinan menghasilkan sistem keturunan. Keturunan merupakan upaya pokok manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat di muka bumi. Kelangsungan hidup tersebut membutuhkan keteraturan-keteraturan dan ketentuan-ketentuan dalam sistem keturunan. Pengaturan-pengaturan sistem keturunan tersebut dapat kita bagi menjadi tiga bagian besar yang kemudian memberikan corak pada peran-peran individu dalam suatu sistem kekerabatan.

a.       Sistem Kekerabatan Patrilineal
Sistem ini mengacu pada pengertian bahwa keturunan didasarkan pada garis laki-laki atau ayah. Suatu klan yang menganut sistem patrilineal, bagaimanapun, terdiri dari anggota laki-laki dan perempuan. Tetapi perlu diperhatikan bahwa hak-hak penerusan klan dan termasuk pewarisan hartanya  berpusat pada kaum laki-laki. Contoh paling kongkret dalam sistem ini adalah pada etnis Batak yang memiliki nama klan (marga). Penerusan nama marga diberikan kepada anak laki-laki. Walaupun seorang perempuan juga diberi nama klan (boru) tetapi setelah ia menikah dengan laki-laki dari klan lain, anak dari perempuan tersebut akan diberi nama klan dari ayahnya.

b.      Sistem Kekerabatan Matrilineal
Sistem matrilineal mengacu pada pengertian bahwa keturunan didasarkan pada garis perempuan atau ibu. Laki-laki anggota suatu masyarakat bersistem matrilineal memiliki kecenderungan keluar dari klannya. Berbeda dengan patrilineal, hak-hak penguasaan dan penerusan kehidupan klan berpusat di  pihak perempuan. Contoh masyarakat penganut sistem matrilineal adalah etnis Minangkabau; walaupun pengaturan hak-hak waris tidak serta merta merupakan “otoritas ibu”, melainkan peran mamak sangat dominan dalam penentuan hak-hak klan.

c.       Sistem Kekerabatan Bilineal/Bilateral
Bilineal atau bilateral mengandung pengertian bahwa keturunan di dasarkan pada dua garis, yaitu dari pihak laki-laki dan pihak perempuan. Seseorang yang hidup dalam sistem bilineal diakui kekerabatannya oleh pihak bapak dan juga pihak ibunya. Hak-hak penerusan kehidupan kelompok tidak secara tegas dipusatkan pada anak laki-laki atau perempuan, terkecuali konsepsi bahwa laki-laki merupakan tulang punggung keluarga yang berkewajiban melindungi anggota keluarga atau klan.

2.      ADAT  MENETAP PASCA PERKAWINAN
Dalam menganalisa suatu sistem kekerabatan, hal yang penting untuk diketahui adalah lokasi bermukim pasca perkawinan. Lokasi bermukim ini menunjukkan bahwa penerimaan anggota baru suatu keluarga dianggap menjadi anggota dari keluarga tertentu. Koentjaraningrat (1981:102) menyatakan setidaknya ada 7 (tujuh) kemungkinan adat menetap pascaperkawinan:
1.        Utrolokal, memberi kemerdekaan bagi pengantin baru untuk menetap di sekitar pusat kediaman kaum kerabat suami atau di sekitar pusat kediaman kaum kerabat isteri.
2.        Virilokal, menentukan bahwa pengantin baru menetap sekitar pusat kediaman kaum
 kerabat suami.
3.        Uxorilokal, menentukan bahwa pengantin baru menetap sekitar pusat kediaman kaum kerabat isteri.
4.        Bilokal, menentukan pengantin baru harus tinggal berganti-ganti, pada suatu waktu di sekitar pusat kediaman kaum kerabat suami, pada masa lain di sekitar pusat kediaman kaum kerabat isteri.
5.        Neolokal, menentukan pengantin baru tinggal sendiri di tempat kediaman yang baru, tidak mengelompok di sekitar tempat kediaman kerabat suami maupun isteri.
6.        Avunkulokal, menentukan pengantin baru tinggal menetap di sekitar tempat kediaman saudara laki-laki ibu (avunculus) dari pihak pengantin laki-laki.
7.        Natolokal, menentukan pengantin baru tinggal terpisah, suami di sekitar kediaman kaum kerabatnya sendiri, isteri di sekitar kediaman kaum kerabatnya sendiri pula.

3.      RUMAH TANGGA DAN KELUARGA
Sebagai akibat dari perkawinan membuat suatu kesatuan sosial yang disebut rumah tangga (household). Suatu rumah tangga sering terdiri dari satu keluarga inti saja (ayah, ibu, dan anak); tetapi bisa juga terdiri lebih dari satu, misalnya dua atau tiga keluarga dalam suatu rumah tangga. Di kota-kota besar, seperti Jakarta, di mana sulit didapat perumahan, sering terdapat anggota satu rumah tangga terdiri dari beberapa keluarga atau juga beberapa generasi. Demikianpula pada masyarakat yang bermukim di daerah permukiman kumuh (slum area), dalam satu rumah petak yang kecil berdiam lebih dari satu keluarga.
Konsep rumah tangga merujuk sejumlah individu yang saling terikat dalam aktifitas produksi, konsumsi, distribusi dan reproduksi (Ember dan Ember, 1992:272-275; dan Yanagisako, 1979:164-165). Anggota rumah tangga merupakan unit-unit ekonomi dalam mengalokasikan kebutuhan-kebutuhan dan konsumsi rumah tangga. Artinya setiap anggota keluarga memiliki nilai-nilai ekonomis yang saling terikat bersama anggota keluarga lainnya.
           Keluarga merupakan kelompok kekerabatan, terbagi atas keluarga inti (nuclear family) dan keluarga luas (extended family). Konsep keluarga inti mengacu pada  pengertian suatu kelompok yang hanya terdiri dari seorang suami, seorang isteri, dan anak-anak yang belum kawin. Konsep keluarga inti atau keluarga batih  yang paling sederhana dibangun atas dasar perkawinan tunggal (monogami). Keluarga inti pun ada yang terdiri dari seorang ayah dengan banyak isteri (poligami). Secara khusus keluarga yang terbangun atas seorang suami dengan banyak isteri diistilahkan sebagai poligini. Sebaliknya keluarga inti yang dibangun oleh seorang isteri tetapi lebih dari seorang suami di istilahkan sebagai poliandri.
Suatu gejala yang sekarang banyak dijumpai di banyak daerah di dunia adalah keluarga-keluarga inti yang tak lengkap, tetapi tetap berfungsi secara utuh. Keluarga-keluarga inti serupa itu biasanya terdiri dari ibu dan anak (single parent), sedangkan ayahnya tidak ada karena berbagai sebab, perceraian atau kematian, atau tidak diketahui keberadaannya. Walaupun tidak dilengkapi ayah, keluarga tersebut berfungsi dengan normal sebagaimana keluarga inti lengkap. Keluarga semacam ini disebut keluarga matrifokal.

a.         Persebaran
Suku Jawa adalah suku bangsa yang mendalami Pulau Jawa bagian tengah dan timur. Sebelum ada perubahan status Wilayah seperti sekarang ini, daerah Kebudayaan Jawa semula berpusat di Surakarta, tetapi dengan terjadinya Perjanjian Giyangti tahun 1755, pusat kebudayaan Jawa menjadi dua tempat yaitu Surakarta dan Yogyakarta.

b.        Sistem Religi dan Kepercayaan
Agama yang dianut oleh sebagian besar suku Jawa adalah Islam kemudian Kristen, Katholik, Hindu, dan Budha. Pemeluk Agama Islam dibedakan menjadi dua golongan yaitu :
  Golongan Islam santri yaitu golongan yang menjalankan Ibadah sesuai dengan ajaran
     Islam, dengan syariat-syariatnya.
   Golongan Islam kejawen yaitu golongan yang percaya pasa ajaran Islam, tetapi tidak patuh
     menjalankan syariat Islam dan masih percaya pada kekuatan lain. Di samping beragama
     orang Jawa masih percaya pada hal yang gaib. Kekuatan lain misalnya :
   Percaya pada makhluk-makhluk halus seperti memedi, genderuwo, tuyul, setan dan lain-
     lain.
    Percaya pada hari baik atau naas.
   Percaya pada hari kelahiran atau weton.
•    Percaya pada benda-benda pusaka, jimat, rajah dan sejenisnya. Sehubungan dengan
     kepercayaan yang bermacam-macam di atas, maka dilaksanakanlah upacara selamatan    
     yang dibedakan menjadi enam kategori yaitu :
   Selamatan yang berhubungan dengan lingkungan hidup manusia seperti mitoni atau  
    tingkebn ( hamil 7 bulan ), upacara potong rambut pertama, upacara menyentuh tanah  \
    pertama kali ( tidak siten ), upacara menusuk telinga ( tindik ), sunat ( khitan ), serta saat-
    saat setelah kematian.
  Selamatan yang berhubungan dengan kehidupan desa seperti bersih desa, penggarapan
     pertanian, dan setelah panen padi.
 Selamatan yang berhubungan dengan pernikahan, yaitu selamatan ruwah ngaturi, ditujukan
     kepada semua leluhur yang sudah meninggal ( arwah leluhur ) dilakukan sebelum
     pernikahan dan selamatan sepasaran setelah pernikahan.
  Selamatan untuk memperingati hari-hari dan bulan-bulan besar Islam seperti sura, ruwah,
     sadranan, sekatenan atau grebeg maulud, punggahan, puduhan dan lain-lain.
  Selamatan yang berhubungan dengan orang meninggal dunia yaitu selamatan surtanah
    (geblak), nelung dina, pitung dina, matang puluh dina, nyatus, mendak sepisan ( satu 
     tahun ), mendak pindo ( dua tahun ), nyewu ( 1000 hari ).

c.       Sistem kekerabatan
   Masyarakat Jawa menganut sistem kekerabatan bilateral atar parallel. Dengan demikian seorang anak mempunyai kerabat ayah dan ibu, semua kakak laki-laki dan perempuan dari ayah dan ibu beserta suami dan isterinya yang disebut pakde dan budhe ( uwo ), dan semua adik dari ayah dan ibu, baik laki-laki dan perempuan beserta isterinya dan suaminya yang dipanggil dengan paman ( paklik dan bibi/bulik ), sedangkan anak-anak dari pakde-budhe dan paklik-buklik disebut dengan sepupu atau nak dulur dan anak-anak dari saudara sepupu disebut misan. Pada masyarakat Jawa, perkawinan dianggap ideal apabila diukur dari sudut keyakinan dan kesamaan adat menunjukan adanya pemilihan jodoh ideal. Ukuran ideal bagi pria adalah perhitungan bibit, bebet, bobot, sedangkan wanita perhitungan pada mugen, tegen, dan rigen. Perkawinan yang dilarang yaitu menikah dengan :
Saudara kandung.
Pancer lanang ( anak dari dua saudara sekandung laki-laki ).
Pihak laki-laki lebih muda abunya dari pihak perempuan.
   Proses perkawinan adat Jawa dilaksanakan melalui beberapa tahap, yaitu :
Tahap sebelum perkawinan yaitu :
a. Pihak laki-laki melamar kepada pihak wanita yang didahului / nakoke ( nontoni ).
b. Paningseran yaitu upacara pemberian harta benda kepada calon isteri, kain dan kebaya  
    ( pakaian sak pengadek ), dan cincin kawin.
c. Menentukan tanggal peresmian.
d. Asok tukon yaitu penyerahan harta benda atau kekayaan pihak laki-laki kepada pihak
     wanita secara simbolis. Asok tukon disebut juga sasrahan atau mas kawin.
d.      Sehari atau malam sebelum hari perkawinan di pihak isteri dilaksanakan upacara midodareni.
Tahap pelaksanaan upacara perkawinan meliputi :
a. Ijab kobul.
b. Upacara temu, mempelai dipersembahkan di pelaminan.
c. Mengunduh temanten, oleh keluarga mempelai laki-laki biasanya dilakukan lima
hari setelah akad nikah.
Bentuk- bentuk upacara sesudah perkawinan meliputi sungsuman, boyongan, pemberian nama tua.

e.      Sistem politik dan Kemasyarakatan
Pada suku Jawa dahulu terdapat stratifikasi sosial yang dikenal dengan golongan bendoro, priyayi, dan wong cilik. Ada juga stratifikasi sosial berdasarkan kepemilikan tanah yaitu wong baku, kuli gondok ( lindung ), dan sinoman. Sistem pemerintahan desa sering disalah artikan dengan sebutan kelurahan yang dipimpin oleh kepala desa ( lurah ) dibantu oleh kamituwo, carik, bayan, jogoboyo, ulu-ulu ( PTD ), modin, RW dan RT.

f.       Sistem Ekonomi
Masyarakat Jawa sebagian besar masih bermata pencaharian sebagai petani. Tidak seluruh masyarakat Jawa mempunyai tanah pertanian, lahan pertanian semakin menyempit dan juga untuk meningkatkan pendapatan maka selain sebagai petani juga mengembangkan profesi ke bidang lain seperti pegawai, buruh industri, peternakan, kerajinan dan lain-lain.

g.       Sistem Kesenian
Masyarakat Jawa mempunyai sistem kesenian yang beraneka ragam, yang dapat dikelompokkan menjadi :
Bentuk rumah : Joglo, limasan, sinom dan lain-lain.
Seni tari : Tari serimpi, Bambang Cakil, Gambyong, Merak, Bondan, Bedoyo, Tayuban, Beksan Lawung Ageng, dan lain-lain.
Seni Wayang : Wayang kulit, Wayang orang, Wayang beber, Wayang klitik, Wayang suluh.
Cerita Rakyat : Bawang Merah dan Bawang Putih ( Jawa Tengah ), Bandung, Bondowoso dan Roro Jonggrang ( DIY/Jawa Tengah ).
Seni teater tradisional : Ketoprak ( Jawa Tengah ), Ngremo, Tari Kuda Lumping,
Reog ( Ponorogo ).
Seni tembang : Suwe ora Jamu, Pitik Tukung, Ngidung dan lain-lain.
Pakain adat : Beskap, Kebaya, Batik dan lain-lain.

ISD (Ilmu Sosial Dasar)

TENTAG CINTA


Apalah arti cinta bila aku tak bisa memilikimu. Apalah arti cinta bila pada akhirnya takkan menyatu. Sesulit inikah jalan takdirku yang tak inginkan kita bahagia.f LirikLaguIndonesia.net
Bila aku tak berujung denganmu,biarkan kisah ini ku  kenang selamanya. Tuhan tolong buang rasa cintaku, jika tak Kau ijinkan aku bersamanya.
Tak akan pernah sirna bayang tentang dirimu. Mengharap kau kembali ke dalam pelukanku. Hanya sisakan perih luka yang semakin dalam. Sampai kapan ku harus tangisi, rindu yang tak terbalas. Masih adakah cinta untukku, walau hanya untuk kau kenang. Andai ku harus kehilanganmu, kan ku bawa hatimu ke dalam jiwaku. Kemana cinta ini akan ku persembahkan, bila kesetiaanku hanyalah bagimu kekasihku. Luka dalam dada semakin terasa pilu. Adakah kesempatan untuk memiliki.
Ku menunggu, ku menunggu kau putus dengan kekasihmu. Tak akan ku ganggu kau dengan kekasihmu. Ku kan selalu di sini untuk menunggumu. Cinta itu ku berharap kau kelak kan cintai aku, saat kau telah tak bersama kekasihmu, ku lakukan semua agar kau cintaiku. Haruskah ku bilang cinta, hati senang namun bimbang, ada cemburu juga rindu, ku tetap menunggu. Haruskah ku bilang cinta, hati senang namun bimbang, dan kau sudah ada yang punya, ku tetap menunggu. Datang padaku, ku tahu kelak kau kan datang kepadaku, saat kau sadar betapa ku cintaimu, ku akan selalu setia tuk menunggumu.
Apalah arti hidup tanpa cinta, apalah arti cinta tanpa kasih, dan apalah arti diriku tanpa hadirmu, apalah arti semua tanpa dirimu. Ada dalam pelukku, bersatu selamanya. Karna cintaku ada untuk dirimu, memberikan semua yang terindah. Karna kasih suciku hanya untuk mu yang takkan mungkin hilang dan takkan pernah bisa sirna.
percayakah dirimu pada keindahan cinta yang membuat jiwa ini merona jingga. Percayakah dirimu pada kekuatan cinta yang memberi kita waktu untuk bersama lagi. karena cinta ku ada disini, cintai dirimu walau sebentar saja. Terbanglah bersama dirimu menuju langit biru, teriakkan kata cintamu sedahsyat halilintar. Melayanglah bersama dirimu melintasi samudra tarikanlah tarian cintamu seindah gelombang.

“Cinta selain menawarkan air mata, cinta juga menawarkan ketenangan dan kenyamanan”. 

Senin, 03 Oktober 2011

Menjabarkan Mudik

Tulisan (Tema 2)

LEBARAN telah berakhir. Mereka yang mudik ke kampung halaman kini telah kembali lagi ke perantauan, ke kota-kota sumber pencahariannya. Kota-kota kembali ramai, padat dan sumpek, sementara kampung-kampung kembali lengang, sepi dan seperti biasanya. Jalan raya yang dipenuhi arus mudik dan balik berangsur-angsur seperti semula, normal. Apa yang bisa dibaca dari fenomena mudik-balik Lebaran?

Efek Lebaran

             Apa pun itu, Lebaran tetaplah momen yang menggembirakan dan membahagiakan, biar pun macet dan merayap di jalanan saat mudik ataupun balik. Bahkan, biar pun nyawa dipertaruhkan di jalanan. Kabarnya, tahun ini ada sekitar 700 orang yang meninggal akaibat kecelakaan di jalan dan kebanyakan adalah pengendara sepeda motor. Selain jumlahnya yang memang sangat banyak, risiko di jalanan bagi pengendara motor memang lebih besar dibandingkan mobil. Kelelahan mengakibatkan hilangnya konsentrasi yang sesungguhnya sangat diperlukan ketika jalanan begitu ramai.
            
           Lebaran, dari tahun ke tahun, entah sampai kapan, akan selalu terisi dengan mudik-balik orang-orang. Jumlahnya dipastikan akan terus meningkat. Kota-kota besar seperti Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) yang menjadi favorit orang-orang untuk mencari penghidupan akan terus didatangi kaum urban dari kampung-kampung, sepanjang tidak ada keseriusan dari pemerintah untuk memeratakan pembangunan di seluruh daerah di penjuru negeri ini. Otonomi daerah mestinya tidak dijadikan sebagai alasan pemerintah pusat mengabaikan perannya di daerah-daerah, karena ternyata tidak semua daerah memiliki pertumbuhan ekonomi yang baik. Kabarnya, beberapa daerah malah kekurangan dana untuk membayar gaji pegawai negeri.

Dari perspektif sosiologis semacam ini, jelas bahwa faktor ekonomi menjadi inti dari terus meningkatnya jumlah pemudik Lebaran dari tahun ke tahun, di mana jumlahnya bisa mencapai dua kali lipat ketika balik lagi ke kota. Tidak heran, ada pameo menyebutkan ‘mudik bawa barang, balik bawa orang’. Maksudnya, kaum urban dari kota-kota sentra ekonomi mudik membawa apa yang sudah dihasilkannya; entah itu berupa kendaraan (mobil, motor), entah itu berupa uang, entah itu berupa jajanan atau oleh-oleh makanan yang dibeli di kota, yang katanya di kampung tidak ada, lalu dibawa mudik. Sadar tidak sadar, apa yang dibawa secara sosiologis mencerminkan yang Karl Marx sebut dengan perjuangan kelas sosial dengan pergi ke kota, lalu pulang kampung menyandang status sosial lebih baik, yakni menjadi orang sukses di kota. Tentu saja ukuran ‘sukses’ adalah adanya perbedaan ketika masih di kampung dengan setelah di kota.
            
           Saat balik ke kota, untuk sebagian besar mereka membawa orang, yaitu saudara, kerabat atau teman-temannya. Tidak heran, dibanding jumlah pemudik, jumlah yang balik lagi ke kota bisa dua kali lipat. Kesuksesan sebagai orang yang hidup di kota yang terlihat dengan barang-barang yang mereka bawa telah banyak menarik minat orang-orang kampung lainnya untuk ikut mengalami kesuksesan semacam itu. Hasrat untuk menjadi orang urban semakin besar ketika kampung halaman sudah tidak lagi memberi kesejahteraan. Kampung halaman sudah dianggap sebagai kampung orang-orang tua, orang-orang kolot yang hidupnya begitu-begitu saja, nyaris tidak berubah.
            
           Kalaupun berubah, berbeda jauh dengan perubahan terjadi di kota. Masyarakat kampung, untuk sebagian besar, justru memang menghendaki tidak adanya perubahan. Mereka lebih suka hidup ajeg, dan mereka menikmatinya. Pada hal-hal tertentu, misalnya pendapatan harian mereka yang tidak sebanding dengan harga-harga kebutuhan pokok yang semakin naik, mereka memang menggerutu, tapi itu tidak lama. Mereka nrimo. Kaum muda, generasi setelah mereka, sebagian besarnya merasa ingin perubahan. Kota-kota besar menjadi magnet yang mereka persepsikan bisa mengubah hidup mereka. Mereka melihat perubahan itu secara jelas dari orang-orang yang mudik maka gelombang kaum urban pun tidak terelakkan.
           
            Fenomena mudik dan balik setiap Lebaran yang begitu dahsyat dipastikan hanya dikenal atau terjadi di Indonesia. Fenomena ini menjadi cermin sosial paling benderang yang mendeskripsikan bagaimana kondisi masyarakat negeri ini. Ketimpangan ekonomi antara kota dan desa, ketidakmerataan pembangunan di daerah-daerah, otonomisasi daerah yang belum sepenuhnya berhasil, serta ketidakpedulian atau ketidakmampuan pemerintah, terutama pemerintah pusat dalam mengantisipasi dan menangani ledakan sosial kaum urban sebagai efek domino dari ketimpangan dan ketidakmerataan itu, menjadi salah satu faktor utama terciptanya fenomena mudik dan balik. Tahun demi tahun fenomena ini tidak berubah maupun berkurang, tapi justru bertambah.
           
            Pemerintah mestinya bisa membaca fenomena ini secara cermat. Ada kesalahan elementer yang harusnya disadari pemerintah dengan cepat. Kebijakan pembangunan belum berefek besar bagi masyarakat di daerah. Kota-kota masih terus menjadi magnet, karena terus dipercantik, diperindah, bahkan sampai dipersempit. Ambil contoh Jakarta yang merupakan pusat ekonomi (bisnis) dan pemerintahan (ibu kota negara). Pembangunan mal-mal atau sentra-sentra perbelanjaan baru yang besar dan megah selalu terjadi.
            
           Lahan semakin menyempit, ditumbuhi hutan-hutan beton dan baja. Jakarta terus diperkuat magnet dan daya tariknya sebagai sentra ekonomi. Daerah-daerah di luar Jakarta, apalagi di luar Jawa, dibiarkan mengurusi dirinya sendiri dengan kondisi keuangan yang megap-megap atau dikatakan minim. Untuk menggaji pegawai saja kekurangan, bagaimana mungkin membangun daerahnya, hingga ke pelosok? Di sinilah peran pemerintah pusat. Pemerintah harus segera memeratakan pembangunan di daerah, dan menarik masyarakat untuk ikut berperan di dalamnya untuk bersama-sama membangun daerah, agar masyarakat bisa mencari penghidupan secara memadai, di daerahnya sendiri.

Kasus Pemenggalan Patung Wayang di Purwakarta

Tulisan (Tema 1)


Bagi saya kegiatan masa mengadakan pemenggalan patung wayang di Purwakarta tidak sepenuhnya benar, hanya dengan alasan bahwa patung yang didirikan oleh pemerintah Purwakarta tidak sesuai dengan identitas masyarakat setempat yang religius, sekelompok massa melakukan tindakan anarkis dengan menghancurkan patung-patung tokoh pewayangan.
Jika memang seluruh masyarakat setempat jadi beranggapan bahwa patung – patung tersebut adalah sesuatu yang patut disembah, itu memang merupakan suatu kesalahan. Tapi apakah hal itu benar – benar terjadi pada seluruh masyarakat setempat?? Alangkah baiknya kita berpikir positif bahwa patung – patung tersebut didirikan hanyalah untuk mewujudkan suatu keindahan di daerah tersebut yang juga dapat dimanfaatkan oleh seluruh masyarakat guna mengisi waktu –waktu luangnya.
Lagipula tokoh pewayangan merupakan warisan budaya Indonesia, bahkan dalam sejarah penyebaran agama di Indonesia, tokoh pewayangan sering digunakan untuk menjangkau masyarakat terutama di pulau Jawa. Bukankah mengenang sejarah tentang tokoh - tokoh pewayangan itu baik?? Seperti halnya kita mengenang jasa para pahlawan yang telah mengorbankan nyawanya untuk Putra dan Putri Indonesia yang memang hal itu tidak pantas untuk dilupakan melainkan harus dikenang dan dilanjutkan perjuangannya oleh seluruh Putra dan Putri Indonesia dengan caranya masing – masin serta bernilai positif. Maka dari itu marilah kita berpikir jernih guna mewujudkan suatu perdamaian yang nyata di negeri Indonesia yang kaya akan budaya ini.    
Sejumlah massa gabungan ormas islam dan pondok pesantren merubuhkan patung di sejumlah sudut di Purwakarta. Aksi yang mereka lakukan tersebut merupakan akumulasi kekesalan terhadap bupati Purwakarta Dedi Mulyadi, karena membangun patung meski sudah diperingatkan berkali-kali. Suasana kota Purwakarta pun mencekam ketika massa menghancurkan satu per satu patung wayang yang bernilai ratusan juta rupiah dan sasaran pertama mereka adalah patung gatot kaca di perapatan comro. Mereka menghancurkan patung tersebut dengan menggunakan tambang yang diikatkan di bagian leher. Kemudian menariknya hingga roboh secara beramai-ramai. Aksi tersebut dilanjutkan dengan penghancuran patung semar dan bima, aksi tersebut nyaris saja bentrok dengan aparat kepolisian setelah aksi penghancuran patung arjuna di pertigaan jalan BTN setelah digagalkan polisi. Perusakan patung di Purwakarta, Jawa Barat, merupakan tindakan vandalisme. Apa pun alasannya, tindakan itu tak bisa ditorelir. Karena negara kita merupakan negara hukum, jadi segala sesuatunya harus dikembalikan pada hukum. Meskipun sekelompok perusak patung itu menggunakan alasan agama, tetap saja itu tidak dibenarkan. Karena indonesia merupakan negara hukum, bukan negara islam.
Terlebih lagi islam tidak mengajarkan perbuatan perusakan semacam itu. Allah melarang kita berbuat kerusakan dan tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. Jadi, perusakan itu justru bertentangan dengan ajaran Islam yang dibawa-bawa oleh sekelompok perusak di Purwakarta itu. Tindakan mereka justru telah mengotori ajaran Islam dan mencoreng citra Islam yang sejuk. Tindakan perusakan patung wayang oleh sejumlah Ormas Islam di Purwakarta disesalkan kalangan seniman khususnya para dalang dan masyarakat pecinta budaya wayang. Menurut Ketua Persatuan Pedalangan Indonesia (Pepadi) DKI Jakarta, Rohmad Hadiwijoyo, wayang merupakan gambaran keadaan kehidupan yang memiliki relevansi yang kuat dengan dunia kita. Melalui wayang dapat dipetik pelajaran dan memungut hikmah dari kisah-kisah pewayangan melalui tokoh-tokoh wayang tersebut. Kearifan budaya lokal, seperti wayang sesungguhnya mengandung filosofi yang sangat tinggi dan mendalam mengenai makna hidup dan ini pun diajarkan dalam agama. Perbedaan budaya dan agama seharusnya dapat diselesaikan dengan komunikasi. budaya dan agama seharusnya bisa saling mengisi dan perlunya adanya dialog antar lintas agama dan budaya sehingga kejadian seperti ini tidak terulang kembali. The Wahid Institute menyayangkan aksi perusakan terhadap sejumlah patung di Purwakarta, Jawa Barat. Tidak seharusnya aksi barbar itu dilakukan, apalagi sasarannya adalah simbol-simbol kebudayaan.
Menurutnya itu merupakan perbuatan yang salah alamat, itukah simbol pewayangan, simbol kebudayaan, budaya Indonesia. Sejumlah orang melakukan perusakan atas tiga patung di Purwakarta. Mereka menilai pembangunan patung-patung tersebut memboroskan anggaran dan tidak sesuai dengan ciri khas Purwakarta. Namun kuat dugaan aksi perusakan dipicu anggapan bahwa patung-patung tersebut bisa dijadikan sebagai media kemusyrikan. Aksi tersebut dilakukan didepan aparat keamanan, sehingga memunculkan kesan polisi tidak tegas terhadap kelompok tertentu yang membawa nama agama. Pada situasi ini harus jadi bahan evaluasi bersama agar polisi dapat hadir dalam penegakan hukum dan ketertiban masyarakat. Aparat kepolisian bungkam dengan pengrusakkan patung wayang di Purwakarta. Mereka sangat berhati-hati dalam mengeluarkan pernyataan di media massa, karena kasus ini terbilang sangat sensitif dan dapat memicu persoalan lain. Meskipun demikian sejumlah anggota polisi mulai melakukan identifikasi dengan mengamankan barang bukti di berbagai titik penghancuran. Kemudian penjagaan di berbagai lokasi kian di perketat. Dalam kasus ini diharapkan agar polisi mengusut tuntas dan menyelesaikan masalah ini secepatnya agar tidak menjadi preseden buruk bagi ketertiban masyarakat. Hukum di mana saja bisa lemah atau kuat pada suatu masa. Tetapi tak sedikitpun dari kita boleh kehilangan kepercayaan terhadap hukum, apa pun keadaannya. Jika tidak begitu, di depan kita hanya akan ada anarki dan anarki. patung itu sejenis buku dalam bentuk lain. Orang boleh tak setuju isinya, tapi tak boleh juga merusaknya.