Saat ini
industri musik di Indonesia boleh jadi sedang mengalami masa-masa yang paling
suram. Bagaimana tidak, tahun 2010 ini, masa keemasan penjualan album fisik di
Indonesia secara resmi hampir ditutup. Catatan dari ASIRI (Asosiasi Industri
Rekaman Indonesia) men catat pada tahun 2008 hanya terjual 10 juta keping
album, sementara tahun 2007 tercatat 19,4 juta dan 2006 sebesar 23,7 juta.
Sementara tahun 2009-2010 terjadi penurunan sampai 15 persen. Di sisi lain,
angka pembajakan menurut data ASIRI sejak tahun 2008 telah mencapai 96%.
Ratusan toko kaset dan CD di Indonesia telah tutup selama dua tahun ini.
Sedangkan label rekaman kini tinggal 15 perusahaan besar, dari 240 perusahaan
yang terdaftar di ASIRI. Dengan kata lain, industri musik di Indonesia saat ini
sedang sekarat.
Tentu
merupakan sebuah ironi karena sampai tahun 2009 industri musik merupakan
industri ekonomi kreatif yang mencatat angka pertumbuhan tercepat di antara
jenis industri lain, yakni sekitar 18% - 22%. Ada beberapa permasalahan yang
menjadi penyebab kematian industri kreatif ini. Di antaranya adalah era musik
digital sebagai anak dari kemajuan teknologi informasi, dan masalah yang tak
kalah peliknya: pembajakan.
Kondisi
semacam ini terjadi juga di industri musik dunia. Revolusi media dan
dinamikanya membuat paradigma orang-orang di dalamnya pun berubah. Chris
Anderson, dalam bukunya the Long Tail mengatakan bahwa munculnya ipod, di mana
sebuah produk dapat saling ditukar secara peer-to-peer mengubah semua pola dan
paradigma dalam berbisnis. Download lagu gratis, copy atau share lagu dari
teman, dan perilaku lain yang melanggar hak cipta terasa jamak terjadi saat
ini.
Keadaan saat
ini pun sudah diramalkan sejak tahun 2006 oleh Gerd Leonhard, seorang Media
Futurist. Dalam artikelnya Music 2.0 dan bukunya The Future of Music, Leonhard
mengatakan bahwa ”music is like water, music is for free..” Baginya, musik
digital merupakan masalah yang serius: semua orang menggunakannya, hanya sedikit
yang membayarnya, dan hanya Apple yang sukses membisniskannya. Pada saat yang
sama, penetrasi broadband di Eropa meledak, perangkat mobile jauh lebih kuat,
dan milyaran orang dapat membagikan musik dalam jejaring sosial dan semua
jaringan digital lainnya. Usaha untuk membuat ISP dan telecom untuk bertanggung
jawab atas model masalah dalam industri ini telah gagal, 95 % Digital Natives
di Eropa bersalah dalam pelanggaran copyright, dan jalan buntu ini menjadi
permasalahan kultural, politik dan ekonomi yang utama.
”Industri
musik di Indonesia memang tidak mengalami perubahan yang signifikan sejak
jamannya Koes Plus,” demikian ungkap Anton Kurniawan, seorang praktisi industri
musik Indonesia. Pelaku-pelakunya tidak pernah membuat terobosan yang berarti
sejak tahun 1950-an. ”Para label hanya main aman saja. Karena itu, praktis
industri ini stagnan” demikian jelasnya. Mantan manajer Sheila On 7 ini
menambahkan bahwa era digital dalam industri musik ini tentu tidak
terhindarkan. Karena itu pola industri musik pun akan berubah. ”Saat ini,
praktis musisi dan label bergantung pada Ring Back Tone (RBT) saja. ”
RBT: Hutan
Belantara Baru Ring back tone (RBT) dan full track download menjadi juru
selamat bagi industri musik Indonesia saat ini. Ring Back Tone menjadi sandaran
para label serta musisi karena praktis hanya RBT ini yang tidak bisa dibajak.
Setidaknya untuk sementara ini. Direktur Teknologi Informasi Telkom, Indra
Utoyo, seperti dikutip dari DetikInet, mengatakan bahwa justru saat ini menjual
lagu secara digital lebih memberikan pendapatan signifikan, nilainya bisa Rp
1,2 triliun. Penjualan secara digital itu bisa dari RBT atau full track
download.
Namun, di
sisi lain, timbul masalah regulasi seperti pembagian hak cipta dan struktur
bisnis. Belum adanya standar yang jelas ini juga diungkapkan oleh Anton
Kurniawan. “RBT itu ibarat hutan belantara bagi banyak musisi.” Jelasnya. Tidak
adanya standar pembagian hak bagi musisi, di samping masalah transparansi,
membuat RBT ini memarginalkan si musisi itu sendiri. “RBT ini hanya
menguntungkan pihak label dan operator, namun tidak bagi musisinya” tambahnya.
Karenanya, diperlukan perlindungan hukum bagi para musisi sehingga kreatifitas
mereka bisa dihargai secara layak. Plagiat Lagu: Masalah yang lebih serius
tidak terlalu pahamnya musisi tentang RBT pun diamini oleh Nugie. Namun dalam
hal ini, Nugie memiliki sudut pandang yang lain. “Permasalahan yang lebih
penting di industri musik Indonesia adalah plagiat lagu itu sendiri,” ungkapnya
kepada BPHNTV. Baginya, masalah RBT atau share royalty adalah masalah rejeki
masing-masing musisi. Justru yang harus segera dilakukan adalah perlindungan
terhadap karya itu sendiri supaya tidak diplagiat. Lagu yang sudah dibikin
kemudian dijiplak beberapa bagian, atau hanya diganti syairnya saja menjadi
jamak di industri musik saat ini. “Dan itu belum ada tindakan untuk melindungi
si pencipta secara hukum.” ungkapnya. Hal ini tentu bisa menjadi batu sandungan
tersendiri bagi si pencipta lagu. “Upaya kampanye anti plagiat tidak akan
maksimal jika tidak ada tindakan hukum yang pasti,” jelas Nugie.
Industri
musik di Indonesia merupakan salah satu urat nadi industry kreatif bangsa ini.
Perlindungan hukum bagi musisi dan sosialisasi tentang hukum bagi pelaku
industrinya merupakan kebutuhan yang sangat mendesak agar industri ini tetap
hidup di negeri ini. (kris).